“Jika aku saja
tak percaya pada mimpiku sendiri, bagaimana mungkin aku bisa meyakinkan Tuhan
untuk mengabulkannya?”
“Kamu percaya?”
“Pada impianku?
Tentu. Tiap pagi aku sahut kencang-kencang di depan kaca biar aku ingat selalu,”
“Bagaimana bila
tidak terkabul?”
“Memang kamu
Tuhan? Tahu akan terwujud apa tidak?”
“Bukan itu
maksuduku,”
“Ya kita kan
bebas memilih, bebas berkeinginan, masalah iya atau tidak ya nanti,”
“Sia-sia dong
bila gagal,”
“Aku percaya tak
ada yang sia-sia,”
“Kalau ternyata memang
percuma?”
“Ya sudah kalau
begitu. Berarti memang harus merasakan pengorbanan”
“Gampang ya
bilang gitu,”
“Ya memang. Sesimpel
itu kan sebenarnya. Seberapa keras kamu mau mengejarnya. Itu kuncinya.”
“Salah,”
“Apanya?”
“Kudengar sukses
itu kombinasi dari dua hal, usahamu dan pertolongan semesta, bila kau percaya.”
“Ya, jika sesuatu
berjalan tak sesuai keinginan, bisa jadi karena usaha kita belum cukup, atau Tuhan punya rencana
lain untuk kita”.
“Aku jadi ingat
kata-katamu”
“Yang mana?”
“Kita itu
berencana, ikhtiar dan berdoa, tapi tetap saja Tuhan yang menentukan”
“Ya memang. Lagian
kualitas kita dilihat dari proses, meski lebih sering kita dijudge lewat
hasilnya”
Kuseruput lagi
kopi pahit yang sedari tadi kudiamkan di meja. Pahit. Seperti kehidupan, tapi
nikmat. Obrolan ngalor ngidul kami rasanya akan berlangsung lebih lama dari
yang kuperkirakan, dan kurasa aku siap beradu argumen dengan kawanku meski
sering kalah bijak dan kurang konkret.
Komentar
Posting Komentar