Ketika Idealisme Membentur Kapitalisme

Jangan terlalu membenci sesuatu, karena bisa saja Allah balik hatimu untuk melihat sisi lain hal yang kamu benci itu. Menggelikan ya? Tapi itulah yang terjadi pada saya, yang dulu berpikir sistem yang mendewakan uang itu sangat kotor. Kapitalisme yang berlebih itu menyesakkan dada ketika ada orang lain yang masih kelaparan mengesot meminta sedekah. Saya? Memilih menghindar, lalu label kebencian itu mulai tertanam. Iya, seidealis itu, setidak maunya terlibat dalam dunia kapitalis yang hanya memikirkan uang, uang, dan uang.

Meja berbalik, begitu pula saya kini. Bekerja di sebuah perusahaan dengan otak kapitalis. Berdalih menjual ruang untuk masyarakat, tapi abai pada kualitas ruang-ruang yang nantinya akan dihuni oleh si pemilik. Batin serasa saling mempertanyakan satu sama lain. Merasa bersalah ketika idealisme digerogoti. Lalu untuk apa saya berkuliah hingga sakit-sakitan bila pada akhirnya disetir oleh orang yang tak paham akan ruang? Saya sering beradu pendapat, yang saya rasa tak akan berujung pada mufakat, karena perbedaan idealisme. Saya memperjuangkan humanisme, tapi yang saya debat tidak mau mengerti. Humanisme akan selalu kalah pada kapitalisme, apalagi, bila yang berkuasa itu adalah kapitalis. Karena untuk mencapai humanisme, ada kapital yang perlu dikorbankan. Kapitalisme mana mau, yang dia pahami hanya untung dan rugi, seberapa banyak uang yang akan didapat, dan tak peduli pada memanusiakan manusia. Di saat begini, haruskah saya melakukan pembiaran?

Kadang saya bertanya pada diri sendiri. Kenapa ya saya tidak lari saja? Kenapa saya tidak berhenti dan membiarkan saja semua itu. Melepaskan diri dari keburukan, bukankah itu melegakan? 

Tapi bila orang baik itu diam, orang jahat makin berkuasa. Saya belum yakin diri ini baik, tapi ingin jadi orang baik. Makanya saya bertahan. Karena saya masih memiliki harapan untuk membenahi sistem yang bobrok ini, meski di jalannya terasa sakit karena kalah. Kalah pada sesuatu yang menurut saya salah, itu menyakitkan.

Namun, saya tak punya kuasa, dan berakhir menjadi budak kapitalis, meskipun tetap mencuri-curi cara agar ruang yang ideal tetap tercipta tanpa menjelaskan kepada pimpinan. Saya cukup beruntung untuk bisa memiliki kemampuan ini. Saya tidak perlu berbohong, cukup tidak perlu menyampaikan, demi orang-orang yang membutuhkan. 

Saya memahami, bila semua orang di dunia ini berpikir untuk menghalalkan segala cara demi uang, siapa yang akan bertanggung jawab pada kelangsungan hidup yang lebih berkualitas untuk orang-orang miskin? Orang yang memiliki pendapatan lebih rendah cenderung menerima apa adanya. Maka, sudah menjadi kewajiban kita pula untuk mulai bergerak memikirkan hak-hak mereka, bukan hanya sekadar menghasilkan uang.
Kadang begitu sulit rasanya berkompromi dengan idealisme sendiri. Begitu ingin menyerah, saya ingat diri saya sendiri di masa lalu. Bukankah diri ini sudah mendeklarasikan kebermanfaatannya untuk orang lain? Hidup lebih berguna untuk orang lain. Kenapa saya ragu? Iya, dulu saya masuk situ karena pas sekali dengan proposal hidup yang saya ajukan. Dulu sebelum mulai belajar dan berkomitmen di dunia arsitektur, saya bahkan bilang ke Allah, kalau suatu saat ingin punya perusahaan sendiri dan dan saya adalah arsiteknya, sambil menjadi pengajar yang menjadi prioritas utama. Karena generasi muda perlu dididik untuk jujur pada dirinya sendiri, berkarya sambil tersenyum dari hati.

Ternyata Allah mendengarkan, dan menyuruh saya untuk belajar di sebuah firma kecil ini. Memang banyak sekali yang bisa saya pelajari. Mulai dari life lesson hingga hal detail lainnya. Tapi...Entahlah.


Huft, dasar manusia ga pernah bersyukur. Allah, terima kasih sudah membuat saya merasakan gimana sih bekerja dengan orang yang berbeda keyakinan, gimana melihat sisi lain dunia, gimana meyakinkan diri untuk tetap setia pada nilai-nilai yang diyakini, dengan bersentuhan langsung dengan hal-hal yang saya tak suka. Makasih banget atas semua pelajarannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berproses