Akan ada suatu masa dimana kita memahami hal-hal di luar nalar yang dulu tak dimengerti. Seperti malam ini, ketika lampu terpejam dan listrik mati di saat mentari telah lama tenggelam. Bising itu hilang berganti hening. Mungkin karena sudah waktunya anak-anak untuk memejamkan mata. Para orang tua kini sudah mengangguk-anggukkan kepala tanda lelah. Piala dunia malam ini batal disaksikan karena listrik padam.

Syawal, bulan setelah Ramadhan. Akankah hati dan iman kita akan sekuat masa wajib berpuasa itu? Hakikatnya, Ramadhan adalah waktu-waktu kita untuk berlatih menjadi pribadi yang lebih tangguh. Ibarat kata, wajib militer. Setelah hari-hari panjang nan melelahkan bersama para tentara yang super tegas itu, akan ada perubahan-perubahan yang signifikan dalam diri. Yang tadinya manja menjadi lebih tangguh. Yang mudah mengeluh menjadi lebih yakin. Yang suka menerjang larangan menjadi lebih taat dan patuh. Dan yang pasti lebih bersyukur karena tidak harus tidur di barak-barak tanpa kasur hangat yang empuk di malam yang dingin, tentu dengan perut kenyang sebelum tidur. Setelah kita lulus dari pelatihan militer tersebut, kita siap untuk menjalani hari-hari dengan mental dan karakter baru.

Bukankah hal tersebut mirip dengan ramadhan? Setelah menjalani hari-hari yang cukup berat, berpuasa satu bulan, mengendalikan emosi, hingga menahan dan berperang dengan nafsu, kita merayakan prestasi diri dengan berlebaran. Seberapapun amalan yang kita lakukan saat ramadhan, kebaikan-kebaikan yang insyaAllah dilipatgandakan pahalanya, kita semua boleh turut merayakan kebahagiaan. Buktinya, 1 Syawal tidak boleh berpuasa, dan zakat fitrah yang sebelumnya dikeluarkan untuk membersihkan harta, bisa untuk menyambung hidup perut-perut yang terbiasa berpuasa meskipun bukan Ramadhan. Semua bersilaturahmi, saling memaafkan dan mendoakan amalan. Indah, ya?


Pertanyaannya adalah, seberapa lama perubahan itu akan bertahan? Ramadhan, mengajarkan kita untuk bersyukur. Ramadhan mengajarkan kita untuk berhenti mengeluh, dan menebarkan sisi positif pada setiap kondisi. Ramadhan, pelatihan intensif kita untuk bergelut dengan 11 bulan berikutnya. Melawan siapa? Melawan keburukan dan diri sendiri. Saat itu pula, kita disadarkan akan sesuatu yang esensial. Bahwa manusia tidak hidup selamanya. Ia akan bertemu dengan kematian dan kehidupan akhirat kemudian. Sesuatu yang bersifat kekal. Saat iman kita digembleng itulah, Allah ingin kita banyak memikirkan akhirat, dan menyadarkan manusia yang terkadang memandang dunia sebagai tujuan hidup satu-satunya. Apakah kesadaran ini akan bertahan hingga perjumpaan kembali dengan bulan yang dinanti? Adakah jaminan bahwa kita akan selalu menjadi manusia yang bersyukur?

Pats! Lampu kembali menyala, mengaburkan ribuan bintang yang menemani dalam hening. Sahut-sahut suara speaker mulai terdengar dari tv yang lupa dimatikan. Sudah larut. Mari ambil selimut dan terlelap, menyusul kebanyakan orang yang telah berbaring nyaman.

15 Juni 2018
Malam temaram bertabur bintang

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Tulisan Lama untuk Kawan-Kawanku