Sebuah Pelajaran di Hari yang Dinanti


Syukur.

Badanku kaku, masih kalut dalam ujaran-ujaran syukur yang tak henti-hentinya bergaung dalam hati. Salah satu sejarah hidup yang akan terkenang abadi. Mengganti peluh dan resah dengan rasa yang tak terdefinisikan. Semuanya terbayar tuntas.

Bising.

Orang-orang itu sibuk menebar pesona dan tertawa, menenteng berbagai hadiah yang diberikan padanya. Hadiah yang benar-benar telah dipersiapkan untuk mereka. Dengan segala ucapan-ucapan manisnya. Mengabadikan momen lewat lensa, berlenggak lenggok membuat video boomerang, atau sekadar selfie.

Mencari.

Di keramaian itulah aku berada. Sendiri aku berdiri, mencoba tersenyum, dan melihat sekitar, berharap ada seseorang yang benar-benar memanggil namaku.

Kecut.

Tak terhindarkan lagi muncul perasaan khawatir. Ah, ternyata kehadiranku tak seberapa bagi orang-orang yang pernah kusapa. Ah, ternyata aku hanya mampir dan pergi dari hati mereka. Ah, pengharapan itu memang sakit. Lagi-lagi dua huruf itu. Ah.

Perih.

Mereka yang mengenalku tak datang untuk menemuiku, tetapi orang lain. Sekadar tegur sapa karena saling mengetahui nama masing-masing. Datang dan pergi. Tak berarti.

Momen.

Tepat saat itu, namaku dipanggil kencang. Sewaktu kalian mengayunkan tangan dan mendekat kemudian mendekapku, aku lega. Setidaknya aku tahu, masih ada orang-orang yang tulus sayang padaku. Haru biru kurasa saat ucapan-ucapan selamat kalian haturkan. Apa aku benar-benar sudah melaluinya?  Betapa sebuah kalimat tega membuat ikrar tak mudah menangis di depan umum runtuh seketika. Kalian hadir dan memelukku, di saat aku khawatir akan merayakan momen ini dalam senyum palsu kesendirian.

Betapa dulu aku tak menghargai nilai dari sebuah kehadiran, menganggap remeh euforia semacam ini. Aku yang dulu mungkin tak paham rasa ini tapi aku bersyukur Tuhan mengirim kalian untuk memberikanku banyak pelajaran pada hari itu.

Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berproses